Profil Sr. Jeannette

Masa kecil

Sr. Jeannette van Paassen lahir pada tanggal 12 Desember 1936, di sebuah Desa di Den Hoorn, merupakan anak ke-7 pada keluarga van Paassen. Nama kecilnya dipanggil dengan Theodora (Thea), artinya ″hadiah Tuhan″. Thea masih mempunyai 4 orang adik lagi sehingga mereka semuanya menjadi 11 orang. Semasa kecilnya Thea sangat suka membantu orangtuanya bekerja di kebun tomat. Kebun itu merupakan sumber penghasilan bagi keluarga van Paassen. Walaupun sibuk dengan kerja di kebun tomat, Thea tidak melupakan urusan sekolahnya. Cita-citanya ingin menjadi Perawat. Namun cita-cita ini belum bisa segera terwujud, karena pada saat Thea tamat SMK, kedua abangnya masuk perguruan tinggi. Terpaksa Thea berhenti sekolah dan membantu orangtuanya bekerja di kebun tomat hingga usia 20 tahun

Masuk Kongregasi, thn 1957

Suatu saat Thea memutuskan untuk menjadi Suster dengan tujuan mau ke misi. Walaupun tujuannya ke misi masih diragukan oleh Pimpinan Kongregasi Fransiskanes, namun karena imannya yang besar, akhirnya Thea bisa diterima dan memilih nama menjadi Suster Jeannette. Pada tahun 1960 Sr. Jeannette mendapat tugas belajar dalam bidang Keperawatan di Rumah Sakit Maria – Stichting di Haarlem dan selanjutnya meneruskan pendidikan di bidang kebidanan di Heerlen dan selesai tahun 1968

Mengemban misi di Pakkat, Sumatera Utara (1969 – 1980)

Kerinduan untuk berkarya di daerah misi mendapat respon yang positip dari Pimpinannya. Pada tahun 1969 Sr. Jeannette berangkat ke Indonesia bergabung dengan Suster-Suster pendahulunya di Balige – Propinsi Sumatera Utara. Beberapa bulan kemudian ia diutus ke Poliklinik Pakkat, suatu tempat yang jauh dari keramaian (dikelilingi hutan). Sudah tentu sarana di sana sangat minim pada saat itu. Dengan keadaan yang demikian Sr. Jeannette tidak hanya berfungsi sebagai Perawat – Bidan namun sekaligus juga menjadi Dokter. Berkat keahliannya, ia telah berhasil menolong kelahiran 3000 bayi dengan selamat. Ia juga mampu mengatasi wabah penyakit yang melanda Pakkat pada waktu itu seperti, rabies, tetanus, typus. Masyarakat sangat senang kepadanya, sebab itu mereka menghadiahkan nama baru untuknya dan memanggilnya ″boru Panggabean″. Disela-sela kesibukannya di Pakkat, ia masih melayani kesehatan di daerah Parlilitan, yang dikunjunginya setiap hari minggu dengan sepeda motor honda

Mengabdi untuk orang cacat fisik. (1980 – 2001)

Pada tahun 1980, atas permintaan Pastor Liebreks, Sr. Jeannette pindah ke Pematangsiantar dan ditugaskan di Poliklinik Rumah Sakit Harapan yang baru dibuka. Pada suatu saat datang seorang Pastor meminta pertolongannya untuk melihat seorang pemuda yang lumpuh di Tuk-Tuk. Nama pemuda itu: Bernike Manurung. Olehnya pemuda itu dibawa ke Rumah Sakit untuk dirawat. Dengan penuh kasih dan harapan ia merawatnya serta memberikan latihan-latihan terapi agar pemuda tadi bisa bangkit dari tempat tidurnya.

Pada suatu hari, seorang adik ipar Sr. Jeannette datang dari Nederland mengunjungi Sr. Jeannette. Beliau adalah Peter van der Burg, ia seorang fisioterapist. Kesempatan ini dipergunakan Suster tersebut mengajak adik iparnya melihat Bernike. Waktu itu Peter van der Burg menyarankan agar memasang tali diatas tempat tidur Bernike. Dan tali itu dijadikan Bernike sebagai pegangan untuk menggeser tubuhnya. Dan suatu hari Bernike berhasil menarik tali hingga mencapai pada posisi duduk. Saat itu Bernike berteriak ″Aku bebas !!!!″

Setelah 2,5 tahun Bernike berhasil keluar dari ″belenggu″ di tempat tidur. Suatu hal yang dulu dianggap tidak mungkin ternyata benar terjadi. Dengan bantuan kursi roda yang dimodifikasi khusus pada saat itu, Bernike dapat bebas untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari dan tidak lagi sepenuhnya bergantung dari orang lain. Masa depan yang bahagiapun menantinya. Bernikepun mulai lagi mengembangkan bakatnya yakni, melukis dan bermain gitar.

Moment yang membahagiakan sekaligus mengharukan bagi Sr. Jeannette dimana suatu saat Bernike dengan tenaganya sendiri bisa pindah dari tempat tidur ke kursi roda. Keberhasilan Bernike Manurung, dengan cepat tersiar kemana-mana. Para penyandang cacatpun berdatangan minta pertolongan kepada Sr. Jeannette. Mereka semua dilayani dengan baik, namun hanya sebatas memberi mereka alat bantu, seperti kursi roda, walker, tongkat dan setelah itu mereka kembali ke rumahnya. Pada waktu itu belum ada tempat penampungan untuk mereka. Bernike sendiripun masih tinggal di RS. Harapan. Ternyata Rumah Sakit bukanlah tempat yang cocok untuk penyandang cacat. Didasari dari pengalaman itu, mulailah dipikirkan tempat untuk Bernike

Sejak saat itu mulailah berdatangan para penyandang cacat ke Rumah Sakit Harapan. Oleh karena penanganan penyandang cacat berbeda dengan orang sakit, maka tidak memungkinkan untuk meneruskan rehabilitasi di Rumah Sakit Harapan.

Suatu malam Sr. Jeannette van Paassen FCJM,  bermimpi melihat suatu Pusat Rehabilitasi yang besar dan indah dan dari seluruh penjuru tempat penyandang cacat datang dan berseru: ″bantulah kami untuk bisa seperti Bernike, bebas tidak tergantung kepada orang lain″

Mimpi ini menjadi inspirasinya untuk mendirikan Pusat Rehabilitasi dan juga mengingat pada masa itu para penyandang cacat luput dari perhatian masyarakat dan Pemerintah dan sering dikucilkan. Kasih sayangnya yang besar untuk para penyandang cacat mendapat berkat dari Tuhan. Seperti air yang mengalir, begitulah dukungan dan bantuan yang didapatnya untuk mendirikan Pusat Rehabilitasi. Akhirnya Pusat Rehabilitasi berdiri resmi pada tanggal 17 Nopember 1981, dimulai dengan menyewa rumah selama 2 tahun di Jl. Narumonda No.24 Pematangsiantar. Kemudian pada tahun 1984 pindah ke tempat yang jauh lebih besar (2,5 hektare) di Perumnas batu VI. ″Mimpinya menjadi kenyataan″. Sejak bertemu dengan Bernike hingga saat ini Sr. Jeannette mengabdi untuk orang-orang cacat. Baginya orang cacat harus mendapat tempat yang layak, sejajar dengan orang-orang yang sehat fisiknya. Penyandang cacat adalah manusia yang harus dihargai, hanya nasib saja yang membuat fisiknya tidak sehat, demikian selalu diutarakannya. Maka tidak heran, jika ada dilihatnya diskriminasi terhadap orang cacat, maka Suster ini akan marah.

Tepat pada perayaan 20 tahun PRHJ, dan bersamaan usianya menjelang 65 tahun, Sr. Jeannette van Paassen menyatakan pensiun dari tugasnya sehari-hari sebagai Direktris Harapan Jaya. Beliau berharap para penerusnya akan mewarisi kepeduliaannya terhadap para penyandang cacat dan yakin bahwa Tuhan akan memberkati orang-orang yang rela membantu orang-orang cacat. Tanggal 25 Januari 2002, Sr. Jeannette kembali ke kampung halamannya di Nederland.

Di akhir karyanya beliau mendapat penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara dan dari Duta besar Belanda di Jakarta.

Meskipun tidak lagi aktif dengan urusan harian, Sr. Jeannette masih memberikan hatinya untuk membantu orang cacat dengan tugas sebagai penghubung Harapan Jaya dengan para donateur ataupun pemerhati Harapan Jaya di Nederland.  Bagi Sr. Jeannette van Paaseen,  selagi Tuhan masih memberikan kesehatan dan umur panjang, berkarya untuk orang yang menderita tidak akan pernah berhenti.

Tepatnya Perayaan 25 tahun PRHJ, tanggal 17 Nopember 2006,.. Ny.J.S.Nasution ketua Dewan Nasional Indonesia Kesejahteraan Nasional (DNIKS), menuliskan isi buku Kenangan dalam rangka 25 Thn PRHJ. “Senandung Syukur Buat Harapan Jaya”, itulah judul tulisan Ibu Nasution, berikut isinya: